Disunnahkannya Shalat Tarawih Berjamaah
DISUNNAHKANNYA SHALAT TARAWIH BERJAMA’AH
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Orang yang memiliki ilmu tentang sunnah, pasti meyakini disyariatkannya shalat malam berjama’ah pada bulan Ramadhan ; yaitu shalat yang lebih dikenal sebutan shalat tarawih. Hal ini berdasarkan pada beberapa hal :
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan disyari’atkannya shalat berjama’ah.
2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegakkannya.
3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaannya.
[a]. Adapun mengenai penetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang disyariatkannya shalat itu, adalah berdasarkan hadist Tsa’labah bin Abdil Malik Al-Quradzi, dimana ia menuturkan : “Suatu malam dibulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, lalu menyaksikan orang-orang tengah melaksanakan shalat di ujung masjid. Beliau lantas bertanya :”Sedang apa mereka .?” Seorang shahabat menjawab : “Ya Rasulullah, mereka itu orang-orang yang belum banyak hafal Al-Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab seorang Qari ; maka mereka shalat bermakmum kepadanya”. Beliau menanggapi : ” Sungguh mereka telah berbuat kebaikan”. Atau beliau bersabda : “Sungguh mereka benar, perbuatan itu sama sekali tidak dilarang”. [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi II : 495, dan beliau menandaskan : “Hadits ini mursal dan hasan”. Saya katakan : Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain dari hadits Abu Haurairah Radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang lumayan kalau diiringi dengan Muttabbi’ (penyerta) dan syahid (penguat). Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam “Qiyamu Al-Laili” (hal 90), Abu Dawud (I:217) dan Al-Baihaqi]
[b]. Sedangkan mengenai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga menegakkan shalat tersebut, adalah berdasarkan beberapa hadits.
Yang Pertama : Dari An-Nu’man bin Basyir Radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :
“Artinya : Kami pernah shalat bersama nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam kedua puluh tiga bulan Ramadhan hingga sepenggalan malam terakhir. Kemudian kami juga shalat bersama pada malam kedua puluh lima hingga pertengahan malam. Selanjutnya pada malam ke duapuluh tujuh kami kembali shalat berjama’ah, sampai-sampai kami menyangka bahwa kami tidak akan mendapat “Kemenangan”. Kami biasa menyebut waktu bersahur dengan “Kemenangan”. [Hadits tersebut diriwayatlkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al-Mushannaf” (II:90/2). Ibnu Nashr (89), An-Nasa’i (I:238), Ahmad (IV:272) dan Al-Firyabi dalam “Ar-Rabie’ wa Al-Khamis min Kitabi Ash-Shiyam” (II:72-1 : 73) dan derajat sanadnya shahih, juga dishahihkan oleh Al-Hakim (I : 440), lalu beliau menyatakan :
“Hadits itu mengandung dalil yang gamblang bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin adalah sunnah yang pasti. Ali bin Abi Thalib pernah menganjurkan Umar bin Al-Khattab untuk menghidupkan kembali sunnah ini sampai akhirnya beliau menegakkannya”.
Yang Kedua : Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu menuturkan :
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat malam di bulan Ramadhan ; lalu aku datang dan shalat disamping beliau. Lantas manusia berdatangan satu demi satu sehingga kami berjumlah beberapa orang (beberapa orang yang dimaksud disini tidak sampai sepuluh orang). Tatkala beliau mengetahui bahwa kami ada dibelakangnya, beliau segera meringankan shalatnya, lalu beliau masuk ke rumahnya. Ketika beliau sudah berada di dalam rumah, beliaupun shalat namun tidak sebagaimana ketika beliau mengimami kami. Setelah datang waktu pagi, kamipun bertanya :”Ya Rasulullah, apakah engkau mengetahui kehadiran kami tadi malam?” Beliau menjawab :”Ya, itulah yang membuat aku melakukan hal sebagaimana yang kalian saksikan”. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (III : 199,212,291), Ibnu Nashar (89) dengan dua jalur sanad yang shahih, dan Ath-Thabari dalam “Al-Ausath” dengan lafazh yang mirip ; sebagaimana juga beliau riwayatkan dalam “Al-Jama`” (III : 173). Saya mengira juga ada dalam Shahih Muslim ; bisa diperiksa kembali]
Yang Ketiga : Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwa ia menuturkan :
“Dahulu manusia shalat di masjid Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam di malam bulan Ramadhan dengan berpencar-prncar (yakni dengan berimam sendiri-sendiri). Seorang yang banyak hapal Al-Qur’an, mengimami lima sampai enam orang, atau bisa jadi lebih atau kurang. Masing-masing kelompok shalat bersama imamnya. lalu Rasulullah menyuruhku untuk memasang[1] tikar di depan pintu kamarku (pintu itulah yang membatasi rumah beliau dengan masjid ,-pent).
Akupun melakukan perintahnya. Sesuai melakukan shalat ‘Isya di akhir waktu, beliau keluar kemuka kamar itu. ‘Aisyah melanjutkan ceritanya : Manusia yang kala itu ada di masjidpun lantas berkumpul ke arah beliau. Lalu beliau mengimami mereka shalat sepanjang malam. Kemudian orang-orang bubar, dan beliaupun masuk rumah. Beliau membiarkan tikar tersebut dalam keadaan terbentang. Tatkala datang waktu pagi, mereka memperbincangkan shalat yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada pada malam itu (maka berkumpullah manusia lebih banyak lagi) dari sebelumnya. Sehingga akhirnya masjid menjadi bising (karena banyaknya orang -“Al-Bidayah An-Nihayah”). Pada malam ke dua itu, Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam kembali shalat bersama mereka. Maka di pagi harinya, orang kembali memperbincangkan hal itu, sehingga orang yang berkumpulpun bertambah banyak lagi (pada malam ketiga) sampai masjid menjadi penuh sesak. Rasul-pun keluar dan shalat mengimami mereka. Dimalam yang keempat, disaat masjid tak dapat lagi menampung penghuninya ; Rasulullah-pun keluar untuk mengimami mereka shalat ‘Isya dipenghujung waktu. Lantas (pada malam itu juga) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahnya, sedangkan manusia tetap menunggunya di masjid”. ‘Aisyah lalu menuturkan : “Rasulullah bertanya kepadaku :”Orang-orang itu sedang apa ya ‘Aisyah ?” Saya pun menjawab : “Wahai Rasulullah, orang-orang itu sudah mendengar tentang shalatmu tadi malam bersama orang-orang yang ada di masjid ; maka dari itu mereka berbondong memenuhi masjid untuk ikut shalat bersamamu”. Lalu ‘Aisyah melanjutkan kisahnya : “Beliau lantas memerintahkan :”Tolong lipat kembali tikarmu, wahai ‘Aisyah !”. Akupun lantas melakukan apa yang beliau perintahkan. Malam itu, beliau berdiam di rumah tanpa tidur sekejappun. Sedangkan orang-orang itu tetap menunggu ditempat mereka. (Sebagian di antara mereka sampai berkata : Shalat, shalat !). Hingga datang pagi, barulah Rasulullah keluar. Seusai melaksanakan shalat subuh, beliau menghadap kearah para sahabatnya [2] dan bersabda :
“Wahai manusia, sungguh demi Allah, aku sama sekali tidak tertidur tadi malam. Akupun tahu apa yang kalian lakukan. Namun (aku tidak keluar untuk shalat bersama kalian) karena aku khawatir shalat itu menjadi wajib atas diri kalian. [ Dalam suatu riwayat disebutkan : Namun aku khawatir kalau shalat itu akhirnya menjadi wajib atas diri kalian sehingga kalian tak sanggup melakukannya] Bebankanlah diri kalian dengan amal perbuatan yang kalian sanggup melakukannya. Sesungguhnya Allah tak akan bosan, meskipun kamu sendiri sudah bosan”.
Dalam riwayat yang lain ditambahkan : Imam Az-Zuhri mengatakan :”Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, manusia tetap menjalani kebiasaan itu (yaitu berjama’ah shalat tarawih, namun tidak setiap hari, -pent). Demikian juga pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab Radhiallahu ‘ahuma [3].
Saya menyatakan : Bahwa hadits-hadits ini semua menunjukkan dengan gamblang, tentang disyari’atkannya shalat tarawih dengan berjama’ah. Karena kesinambungan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat tersebut berjama’ah selama beberapa malam. Adapaun Nabi yang meninggalkan shalat tarawih tadi dengan berjama’ah pada malam yang keempat (setelah beliau memulainya) sebagaimana disebut dalam hadits tadi, itu tidaklah bertentangan. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menerangkan alasannya dengan sabda beliau : “sesungguhnya aku khawatir tarawih itu menjadi wajib atas dirimu “. Dan tidak diragukan lagi. bahwa kekhawatiran Nabi tadi sudah hilang dengan meninggalnya beliau. Karena syari’at Allah yang beliau sampaikan telah sempurna (artinya tak akan lagi muncul hukum baru). Dengan demikian, berarti alasan beliau itupun sudah tidak berlaku lagi, yakni meninggalkan jama’ah shalat tersebut. Sehingga kembalilah hukum semula, yaitu disyari’atkannya shalat itu dengan berjama’ah. Oleh sebab itu, Umar bin Al-Khattab-pun kembali menghidupkan sunnah tersebut sebagaimana telah disebutkan, dan akan kembali disebutkan nanti. itulah yang menjadi pegangan sebagian besar ulama.
Yang Keempat : Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, bahwa beliau menuturkan :
“Suatu malam di bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat disebuah kamar yang berlantaikan pelepah kurma. Beliau lalu mengguyur lantai tersebut dengan seember air. Kemudian beliau berdoa (diawal shalat) : ” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Dzal Malakuti wal Jabaruti wal Kibriya’i wal ‘Adzamah ” . Kemudian beliau membaca (seusai Al-Fatihah, pent) surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku’, dan panjang ruku’nya itu seperti kala beliau berdiri. Didalam ruku’nya beliau membaca : “Subhana Rabiyal ‘Azhim; Subhana Rabiyal ‘Azhim [sepanjang kala beliau berdiri], kemudian beliau mengangkat kepalanya (setelah ruku) lalu berdiri yang lamanya sama seperti diwaktu beliau ruku’ dan beliau mengucapkan ; Lirabbiyal hamdu. Kemudian langsung sujud. Dan sujud beliau itu sama panjangnya dengan kala beliau berdiri (yakni berdiri sesudah ruku’). Pada waktu sujud beliau membaca : “Subhana Rabbiyal A’la”. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya dari sujud, lalu duduk. Pada waktu duduk diantara dua sujud itu beliau membaca : “Rabbighfirlii, Rabbighfirlii ” Beliau duduk sama panjangnya dengan ketika beliau sujud. Kemudian beliau kembali sujud, dan membaca : “Subhana Rabiyal A’la “, juga sama panjangnya dengan kala beliau berdiri. Beliau melakukan shalat itu empat raka’at. Dalam shalat itu beliau membaca Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisaa, Al-Maidah, dan Al-An’am sehingga datang bilal untuk mengumandangkan adzan. [4]
[c]. Adapun penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih, adalah berdasarkan hadits Abu Dzar Al-Ghifari Radhiallahu ‘anhu.
“Kami shaum Ramadhan bersama Rasulullah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qiyamullail berjama’ah bersama kami, hingga hitungan puasa tinggal tujuh hari (malam keduapuluh tiga), maka Rasulullah mengajak kami untuk qiyamullail berjama’ah hingga berlalu sepertiga malam, lalu beliau tidak menegakkannya lagi ketika Ramadhan sisa enam hari (malam keduapuluh empat) dan berjama’ah kembali ketika sisa lima hari (malam keduapuluh lima) sampai berlalu pertengahan malam, kamipun lantas bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah tak sebaiknya engkau sisakan sebagian malam ini agar kami shalat sendiri ?” Beliaupun menjawab : “Sesunguhnya, barangsiapa yang shalat bersama imam hingga selesai shalat, ia akan mendapatkan ganjaran shalat semalam suntuk ” Demikian juga yang disebutkan oleh Ibhu Nashr (hal 90) dari Imam Ahmad. Kemudian Abu Dawud melanjutkan kisahnya : “Imam Ahmad juga pernah ditanya dan saya mendengarnya sendiri : “Bagaimana kalau seorang itu mengakhirkan waktu shalatnya (pada waktu yang paling utama) ? Dia menjawab : “Tidak baik, termasuk sunnah kaum muslimin adalah shalat berjama’ah, hal itu lebih aku sukai” [5]
[Disalin dari buku Shalati At-Tarawih, edisi Indonesia Shalat Tarawih penyusun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tibyan, hal. 18 – 28, penerjrmah Abu Umar Basyir Al-Maidani]
______
Footnote.
[1] Yang dimaksud disini menaruh/membentangkannya. Dalam “Lisanul Arab”, kata Nashab (memasang), bisa berati menaruh atau mengangkat. Makna pertama itulah yang nampaknya lebih sesuai disini. Maksudnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Aisyah untuk meletakkan tikar di muka pintu kamarnya (masih didalam kamar) agar beliau bisa shalat disitu. Bisa juga yang dimaksud adalah yang kedua, yakni agar ‘Aisyah mengangkat tikar yang ada ke depan pintu kamar (di masjid). Hal itu dikuatkan dengan riwayat Zaid bin Tsabit : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu kamar didekat masjid yang bertikar dan shalat beberapa malam di sana. Sehingga (pada tiap malamnya) manusia berkumpul shalat bermakmum kepada beliau …” [Diriwayatkan oleh Muslim II:188] dan yan lainnya.
[2] Yang dimaksud dengan mengucapkan syahadat disini menurut anggapan saya adalah mengucapkan Khutbatul Hajah yang sudah tercakup didalamnya syahadat. Kami telah menjelaskan hal itu dalam mukaddimah tulisan kami yang pertama. Bahkan (pembahasan) itu telah dicetak secara terpisah.
[3]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari III : 8-10, IV : 203, 205. Muslim II : 177-178, 188-189. Abu Dawud I : 217. An-Nasa’i I : 238. Al-Firyabi dalam “Ash-Shiyam” 73 : II. 74 : I – 75 : I dan Ibnu Nashr serta Ahmad VI : 61, 169, 177, 182, 232, 267. Dan ini adalah lafazh hadits mereka berdua. Sedangkan arti ucapan beliau : “Mereka tetap melakukan kebiasaan itu”. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari : “Yaitu meninggalkan jama’ah shalat tarawih”. Saya (Al-Albani) mengatakan : “Yang lebih sesuai, bahwa mereka melanjutkan kebiasaan shalat dengan berpencar-pencar dengan beberapa imam, sebagaimana dapat dipahami dari awal hadits. Nanti akan disebutkan hadits tentang Umar Radhiallahu ‘anhu yang menghidupkan kembali sunnah Nabi tadi ; dimana riwayat itu menguatkan pendapat ini.
[4]. Yang dimaksud adalah adzan shalat subuh. Hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90.An-Nasa’i I : 246 dan Ahmad V : 400, dari jalan Thalhah bin Yazid Al-Ashari, dari Hudzaifah. Masing-masing jalan saling melengkapi. Tirmidzi juga meriwayatkan darinya I : 303, Ibnu Majah I : 290 dan Al-Hakim I : 271 ; yakni bacaan antara dua sujud, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Para perawinya terpercaya, akan tetapi Imam An-Nasa’i memandang hadits itu memiliki cacat tersembunyi. Beliau mengatakan : Hadits itu Mursal ; dan Thalhah bin Yazid sepanjang yang saya ketahui ia tak pernah mendengar hadits dari Hudzaifah ; Saya katakan : “Riwayat itu disambungkan oleh Amru bin Murrah dari Abu Hamzah –yakni Thalhah bin Yazid– seorang lelaki dari kota Abas. Syu’bah beranggapan bahwa ia (lelaki itu) adalah Shilah bin Zufar, dari Hudzaifah. ‘Dikeluarkan juga oleh Abu Dawud I : 139-140. An-Nsa’i I : 172. Ath-Thahawi dalam “Muskilu Al-Atsar” I : 308. Ath-Thayalisi I : 115. Al-Baihaqi II : 121-122. Ahmad V/398 dan Al-Baghawi dalam hadits Amir bin Al-Ja’ad I : 4/2 dari Syu’bah bin Amru, dan derajat sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim II : 186 dari jalur Al-Mustaurid bin Al-Ahnaf, dari Shilah bin Zufar, dengan lafazh yang mirip namun ada penambahan dan pengurangan, bahkan terkadang sebagiannya tidak sama.
[5]. Yakni berjama’ah dalam shalat tarawih itu meski di awal waktu, tetap lebh baik menurut pandangan beliau diabandingkan dengan shalat sendirian meskipun akhir malam. Padahal shalat malam diakhir waktu memiliki keutamaan tersendiri. Namun shalat berjama’ah tetap lebih utama. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegakkan shalat berjama’ah itu pada malam-malam yang telah disebutkan. Dimana beliau menghidupkan malam-malam itu di masjid bersama manusia, sebagaimana juga telah dikisahkan dalam hadits : “Aisyah dan yang lainnya. Maka dari itu, kaum muslimin masih terus melaksanakannya semenjak zaman Umar hingga hari ini.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2224-disunnahkannya-shalat-tarawih-berjamaah.html